Sunday, 14 April 2013

Makalah Tentang Penyakit Hipertensi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyakit darah tinggi yang lebih dikenal sebagai hipertensi merupakan penyakit yang mendapat perhatian dari semua kalangan masyarakat, mengingat dampak yang ditimbulkannya baik jangka pendek maupun jangka panjang sehingga membutuhkan penanggulangan jangka panjang yang menyeluruh dan terpadu. Penyakit hipertensi menimbulkan angka morbiditas (kesakitan) dan mortalitasnya (kematian) yang tinggi.
Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian telah menghubungkan antara berbagai faktor resiko terhadap timbulnya hipertensi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologis yang dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8 – 28,6 % penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi. Saat ini terdapat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan  lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan resiko penyakit hipertensi seperti stress, obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan makan makanan yang tinggi kadar lemaknya.
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan kemungkinan komplikasinya.
Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
Hipertensi perlu diwaspadai karena merupakan bahaya diam-diam. Tidak ada gejala atau tanda khas untuk peringatan dini bagi penderita hipertensi. Selain itu, banyak orang merasa sehat dan energik walaupun memiliki hipertensi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.
B. Tujuan Makalah
     Adapun tujuan dari pembuatan makalah hipertensi ini antara lain :
1.      Memahami dan menjelaskan definisi hipertensi.
2.      Memahami dan menjelaskan gejala hipertensi.
3.       Memahami dan menjelaskan penyebab hipertensi.
4.      Memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk hipertensi.
5.      Memahami dan menjelaskan Pengobatan hipertensi.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hipertensi
B. Insiden Hipertensi.
        Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Tambayong, 2000).
C. Penyebab  Hipertensi secara Epidemiologi.
        Hipertensi adalah masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung congestive, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler. Hipertensi disebut “silent killer” karena sifatnya asimptomatik dan setelah beberapa tahun dapat menimbulkan stroke yang fatal atau penyakit jantung. Meskipun tidak dapat diobati, pencegahan dan penatalaksanaan dapat menurunkan kejadian hipertensi dan penyakit yang menyertainya.
        Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, diketahui hampir seperempat (24,5%) penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun mengkonsumsi makanan asin setiap hari, satu kali atau lebih. Sementara prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler.
D. Patofisiologi Hipertensi.
1.      Hipertensi Essensial, disebut juga hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi essensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi essensial adalah multi faktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stres, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada tiga faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi, yakni makan garam natrium berlebihan, stres psikis dan obesitas.
2.      Hipertensi sekunder.
Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain.
Hipertensi renal dapat berupa :
1)      Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat adanya lesi pada arteri ginjal sehingga     menyebabkan hipoperfusi ginjal.
2)      Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan gangguan fungsi ginjal. Hipertensi endokrin terjadi misalnya akibat kelainan korteks adrenal, tumor di medulla adrenal, akromegali, hiperparatiroidisme,   hipotiroidisme, hipertiroidisme, dan lain-lain.
3.      Defisiensi zat-zat vasodilator yang disintesis oleh endotelium vaskuler seperti prostasiklin, brandikinin, nitrogen oksid (NO), dan peningkatan produksi zat-zat vasokontriktor seperti angiotensi II dan endotelin I.
E. Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi.
     Menurut Sylvia Anderson (2005), gejala hipertensi sebagai berikut :
a.       Sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk.
b.      Sulit tidur, gelisah, cemas dan kepala pusing.
c.       Dada berdebar-debar.
d.      Lemas, sesak nafas, berkeringat.
Gejala hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer,2001).
 Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran tekanan darah, tetapi dapat ditegakkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terjadi peningkatan tekanan darah yang tinggi atau gejala-gejala klinis pendukung pada pemeriksaan yang pertama kali.
F. Faktor-faktor Resiko Hipertensi.
Faktor pemicu hipertensi dibedakan atas:
a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol.
1) Umur.
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai resiko terkena hipertensi.
Dengan bertambahnya umur, resiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enam puluhan.
2) Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita.
Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik. Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapause mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. Menurut MN. Bustan bahwa wanita lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
3) Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat.
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi. Menurut Sheps, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.
4) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.
b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol.
1) Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok.
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari.
2) Konsumsi Asin/Garam.
Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh.
Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.
3) Konsumsi Lemak Jenuh.
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
4) Penggunaan Jelantah.
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kandungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat sering juga disebut omega-9. Minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya adalah ALTJ.
Penggunaan minyak goreng sebagai media penggorengan bisa menjadi rusak karena minyak goreng tidak tahan terhadap panas. Minyak goreng yang tinggi kandungan ALTJ-nya pun memiliki nilai tambah hanya pada gorengan pertama saja, selebihnya minyak tersebut menjadi rusak. Bahan makanan kaya omega-3 yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah, akan tidak berkasiat bila dipanaskan dan diberi kesempatan untuk dingin kemudian dipakai untuk menggoreng kembali, karena komposisi ikatan rangkapnya telah rusak.
5) Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol.
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.
Menurut Ali Khomsan, konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.
6) Obesitas.
Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
7) Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi.
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
8) Stres.
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi.
9). Penyakit lain penyebab hipertensi, yaitu :
a)      Kolesterol tinggi.
b)      Diabetes.
c)      Gagal jantung.
d)     Hiperlipidemia.
G. Klasifikasi Hipertensi.
    Menurut WHO, klasifikasi hipertensi dibagi menjadi :
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normotensi
< 140
< 90
Hipertensi ringan
140-180
90-105
Hipertensi perbatasan
140-160
90-95
Hipertensi sedang-berat
>180
>105
Hipertensi sistolik terisolasi
>140
<90
Hipertensi sistolik perbatasan
140-160
<90

H. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ resiko lain atau mencari penyebab hipertensi sebagai tambahan dapat dilakukan pemeriksaan lain seperti kreatinin, protein urin 24 jam, asam urat, kolesterol/LDL, TSH, EKG, dan CT-Scan, foto rontgen, dan glukosa.
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai fungsi ginjal. Kadar kreatinin serum lebih berarti dibandingkan dengan ureum sebagai indikator laju glomerolus (glomerolar filtration rate) yang menunjukkan derajat fungsi ginjal. Pemeriksaan yang lebih tepat adalah pemeriksaan klirens atau yang lebih popular disebut Creatinin Clearance Test (CTC). Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan kemungkinan aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
Menurut Slamet Suyono, pemeriksaan urinalisa diperlukan karena selain dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit ginjal, juga karena proteinuria ditemukan pada hampir separuh pasien. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada urin segar.

I.     HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN.
Hipertensi yang menimpa ibu hamil akan sangat membahayakan baik bagi kehamilan itu sendiri maupun bagi ibu. Hipertensi pada kehamilan banyak terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan dengan bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
1.      Perubahan Fisiologis Sistem Kardiovaskuler Dalam Kehamilan.
Sistem kardiovaskuler selama kehamilan harus memenuhi kebutuhan yang meningkat antara ibu dan janin. Peningkatan curah jantung selama kehamilan berkisar 40% pada trimester pertama dan kedua (Murray dalam Wylie). Peningkatan curah jantung memungkinkan darah mengalir malalui sirkulasi tambahan yang terbentuk di uterus yang membesar dan dinding plasenta dan memenuhi kebutuhan tambahan pada organ lainnya di tubuh ibu.
Jumlah dan panjang pembuluh darah yang dialirkan ke plasenta meningkat sehingga terjadi vasodilatasi sebagai akibat aktivitas hormon progesteron pada otot polos dinding pembuluh darah. Selama kehamilan terjadi peningkatan volume plasma darah hingga 50% dan jumlah sel darah meningkat hingga 18% untuk mengompensasi penurunan volume darah akibat pembentukan darah ekstra dan vasodilatasi (Blackburn dalam Wylie). Peningkatan volume plasma yang diimbangi dengan jumlah sel darah dan protein dalam darah yang bersikulasi dapat menyebabkan penurunan cairan pada kompartemen cairan interstisial dinding kapiler, sehingga mengakibatkan edema pada wanita hamil.
2.      Penyebab Hipertensi Dalam Kehamilan.
Penyebab hipertensi pada sebagian besar kasus, tidak diketahui sehingga disebut hipertensi esensial. Namun demikian, pada sebagian kecil kasus hipertensi merupakan akibat sekunder proses penyakit lainnya, seperti ginjal; defek adrenal; komplikasi terapi obat.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan adalah:
a.       Hipertensi esensial.
Hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter, faktor emosi dan lingkungan. Wanita hamil dengan hipertensi esensial memiliki tekanan darah sekitar 140/90 mmHg sampai 160/100 mmHg. Gejala-gejala lain seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal akan timbul setelah dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut. Hipertensi esensial dalam kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm. Sekitar 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah, dapat disertai proteinuria dan edema.
b.      Penyakit Ginjal.
Penyakit ginjal dengan hipertensi dapat dijumpai pada wanita hamil dengan glomerulonefritis akut dan kronik; pielonefritis akut dan kronik. Frekuensi kejadian sekitar 1% secara klinis dan secara patologi-anatomi kira-kira 15%. Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara: pemeriksaan urin lengkap dan faal ginjal; pemeriksaan retina; pemeriksaan umum; pemeriksaan kuantitatif albumin air kencing dan pemeriksaaan darah lengkap. Nasehat yang dapat diberikan ke pasien adalah: pemerilksaan antenatal yang teratur, pengawasan pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.
3.      Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan.
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut:
a.       Hipertensi esensial kronis.
b.      Hipertensi esensial disertai superimposed pregnancy-induced hypertension.
c.       Hipertensi diinduksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension, PIH).
d.      Pre-eklamsia.
e.       Eklamsia.
 Hipertensi esensial
Hipertensi pre-existing dikenal dengan hipertensi esensial kronis. Faktor resiko hipertensi esensial dalam kehamilan adalah wanita hamil multipara dengan usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam kehamilan dan dalam persalinan. Penanganan dalam kehamilan meliputi: pemeriksaan antenatal yang teratur; cukup istirahat; monitor penambahan berat badan; dan melakukan pengawasan ibu dan janin; pemberian obat (anti hipertensi dan penenang); terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi ganas.
Penanganan dalam persalinan meliputi: pengawasan pada setiap kala persalinan; secsio sesarea dilakukan pada wanita primitua dengan anak hidup. Prognosis untuk ibu dan janin kurang baik.
Hipertensi esensial disertai superimposed pregnancy-induced hypertension.
Superimposed pregnancy-induced hypertension dapat terjadi selama kehamilan. Komplikasi dari hipertensi esensial diindikasikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk mengompensasi patologi penyebab hipertensi yang menghambat darah menyuplai gas dan nutrien ke jaringan dan organ tubuh. Komplikasi lain yang mungkin timbul antara lain: gagal ginjal; serangan vaskuler serebral (stroke); ensefalopati. Prognosis kondisi tersebut cenderung buruk.
Pregnancy-induced hypertension, PIH.
Hipertensi diinduksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension, PIH) atau pre-eklamsia adalah peningkatan tekanan darah setelah minggu ke-20 kehamilan. Penyebab PIH belum diketahui, akan tetapi telah dihubungkan dengan kasus pembesaran plasenta. Karena tekanan darah meningkat tanpa proteinuria, maka dapat menjadi indikasi bahwa tubuh tidak mampu mengompensasi patologi sirkulasi yang berhubungan dengan hipertensi esensial dengan vaskularisasi tambahan ke plasenta dan janin. Diagnosisnya apabila tekanan darah diastolik > 110 mmHg pada setiap pemeriksaan atau 90 mmHg pada dua kali atau lebih pemeriksaan, atau selang 4 jam. Penatalaksanaannya diperlukan pengawasan yang cermat terhadap kondisi ibu dan janin. Pemeriksaan bagi ibu antara lain: pemeriksaan fisik lengkap; USG; laboratorium darah dan urin. Sedangkan bagi janin adalah pemeriksaan abdomen; USG; kardiotokografi.


Pre-eklamsia.
Pre-eklamsia juga dikenal sebagai hipertensi gestasional proteinurik, toksemia pre-eklamtik (TPE). Pre-eklamsia merupakan gangguan multisistem yang bersifat spesifik terhadap kehamilan dan masa nifas. Lebih tepatnya, penyakit ini merupakan penyakit plasenta.
Angka kejadian pre-eklamsia sekitar 6-8% dari semua kehamilan. Penyebab pre-eklamsia belum diketahui secara pasti. Pre-eklamsia ditandai dengan gejala tekanan darah > 140/90 mmHg, proteinuria dan edema pada wajah maupun tangan.
Pre-eklamsia terbagi menjadi pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat. Komplikasi pre-eklamsia jangka pendek antara lain: gagal ginjal; eklamsia; stoke; kematian ibu; HELLP; DIC; dan masih banyak lainnya. Penanganan pre-eklamsia sesuai dengan klasifikasinya.
Eklamsia.
Eklamsia didefinisikan sebagai satu atau lebih kejang menyeluruh atau koma dalam kondisi pre-eklamsia tanpa ada kondisi neurolig lain. Eklamsia dianggap sebagai tahap akhir pre-eklamsia. Eklamsia dapat terjadi selama periode pranatal, intranatal, dan pascanatal. Yang paling beresiko adalah periode pascanatal. Komplikasi terjadinya eklamsia adalah kematian; perdarahan serebral; edema paru; ARDS; gagal ginjal. Ibu dengan pre-eklamsia berat beresiko mengalami kejang berulang, sehingga pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intravena.
J.      Komplikasi Hipertensi.
1.      Stroke.
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000).Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).
2.      Infark Miokard.
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000).
3.      Gagal ginjal.
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000).
4.      Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru – paru menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Amir, 2002).
5.      Ensefalopati.
Enselofati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
6.      Diabetes Melitus.
Semua pasien DM dan hipertensi harus diterapi dengan menggunakan ACE-inhibitor atau ARB. Kedua golongan obat tersebut bersifat nephroprotection dan menurunkan resiko pada kardiovaskuler.
K.    Terapi Hipertensi.
1.      Non Farmakologi.
a.       Mengidentifikasi dan mengurangi faktor resiko seperti :
·         Merokok.
·         Dislipidemia.
·         Diabetes melitus.
·         Laki-laki berusia lebih dari 60 tahun dan wanita post menopause.
·         Riwayat keluarga menderita hipertensi.
·         Obesitas (Body mass index/BMI ≥ 30 kg/m2) dan penyakit jantung.
·         Aktivitas fisik yang kurang.
b.      Modifikasi gaya hidup.
·         Menurunkan berat badan bila kelebihan (BMI ≥ 27 kg/m2).
·         Membatasi konsumsi alkohol.
·         Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari).
·         Mengurangi asupan garam (2,4gr Na atau 6gr NaCl/hari).
·         Mempertahankan asupan kalium yang adequate.
·         Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak atau kolesterol dalam makanan.
2.      Terapi Farmakologi.
Pemilihan obat harus berdasarkan pada efektivitasnya dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas, keamanan, biaya, penyakit yang menyertainya, dan faktor resiko yang lain.
a)      Diuretik.
Diuretik thiazid biasanya obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan diseluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik menyebabkan hilangnya kalium melalui air, sehingga pengontrolan konsumsi potasium harus dilakukan. Contoh : furosemid, HCT.
b)      Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari α1-bloker, β bloker, α-β bloker labetalol yang menghambat efek sistem syaraf simpatis yang merupakan sistem syaraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah. Contoh : Atenolol, captopril.
c)      ACE-inhibitor.
Mekanismenya menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri. Contoh : Amlodipin.
d)     Angiotensin II bloker (ARB).
Menyebabkan penuurunan tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE inhibitor.
e)      Antagonis kalsium.
Menyebabkan melebarnya pembuluh darah melalui relaksasi otot jantung dan otot polos pembuluh darah dengan cara menghambat kanal Ca+2. Contoh : nifedipin, verapamil.
f)       Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat dari golongan ini hampir selalu digunakan sebagai tambahan terhadap obat antihipertensi lainnya. Contoh : Hidralazin, minoksidil.
g)      Agonis α2- reseptor.
Menurunkan tekanan darah dengan mengurangi aktivitas simpatik, seperti mengurangi kecepatan denyut jantung, resistensi perifer.
Contoh : Klonidin, metildopa.
h)      Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna), memerlukan obat yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi dengan segera. Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar diberikan secara intravena :
·         Diazoxide.
·         Nitroprusside.
·         Nitro glyceerin.
·         Labetalol.

L.     Evaluasi Terapi Hipertensi.
1.      Memelihara tekanan darah tetap < 140/90 mmHg, < 130/80 mmHg pada pasien dengan komplikasi DM dan gagal ginjal.
2.      Mengurangi morbiditas dan mortalitas.
3.      Mengontrol faktor resiko.
4.      Pasien terbebas dari efek samping obat.

    


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan.
1.      Hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi.
2.      Gejala hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing.
3.      Faktor resiko hipertensi terdiri dari faktor resiko yang tidak dapat diubah (umur, jenis kelamin, genetik) dan faktor resiko yang dapat diubah seperti : stres, konsumsi alkohol, merokok, konsumsi garam berlebih, obesitas.
4.      Hipertensi pada kehamilan banyak terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan dengan bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
5.      Terapi hipertensi terdiri dari terapi non farmakologi (mengurangi faktor resiko serta modifikasi gaya hidup) dan terapi farmakologi (menggunakan obat-obatan).
B.  Saran.
Lakukan evaluasi terhadap terapi hipertensi dengan memelihara tekanan darah dan mengontrol faktor resiko hipertensi sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.








DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2004.Farmakologi dan Terapi edisi 4 .Jakarta:Gaya Baru.Hlm:327-342.
http://www.lusa.web.id/hipertensi-dalam-kehamilan/ diakses tgl 15-12-12 jam 22.00
Wylie, Linda, 2010. Manajemen Kebidanan: Gangguan Medis Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC. Hlm:13-41.
Priyanto.2008.Farmakoterapi dan Terminologi Medis.Jakarta:Leskonfi.Hlm 183-194.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17124/4/Chapter%20II.pdf diakses tgl 15-12-12 jam 09.20
www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/206312017/bab2.pdf diakses tgl 16-12-12 jam 15.00

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment