BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Penyakit
darah tinggi yang lebih dikenal sebagai hipertensi merupakan penyakit yang
mendapat perhatian dari semua kalangan masyarakat, mengingat dampak yang
ditimbulkannya baik jangka pendek maupun jangka panjang sehingga membutuhkan
penanggulangan jangka panjang yang menyeluruh dan terpadu. Penyakit hipertensi
menimbulkan angka morbiditas (kesakitan) dan mortalitasnya (kematian) yang tinggi.
Penyakit
hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi dari berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian telah menghubungkan
antara berbagai faktor resiko terhadap timbulnya hipertensi.
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi
meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologis yang
dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8 – 28,6 % penduduk yang berusia diatas 20
tahun adalah penderita hipertensi. Saat ini terdapat adanya kecenderungan bahwa
masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan
masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup
masyarakat kota yang berhubungan dengan resiko penyakit hipertensi seperti
stress, obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan makan
makanan yang tinggi kadar lemaknya.
Peran faktor
genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian
bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada
heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik
hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan
dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan
kemungkinan komplikasinya.
Obesitas
merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi
volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita
hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau
normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin
plasma yang rendah.
Hipertensi
perlu diwaspadai karena merupakan bahaya diam-diam. Tidak ada gejala atau tanda
khas untuk peringatan dini bagi penderita hipertensi. Selain itu, banyak orang
merasa sehat dan energik walaupun memiliki hipertensi. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat
belum terdiagnosis.
B.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah hipertensi ini antara lain :
1. Memahami
dan menjelaskan definisi hipertensi.
2. Memahami
dan menjelaskan gejala hipertensi.
3. Memahami dan menjelaskan penyebab hipertensi.
4. Memahami
dan menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk hipertensi.
5. Memahami
dan menjelaskan Pengobatan hipertensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hipertensi
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and
treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO
dengan International Society of Hipertention (2001) membuat definisi hipertensi
yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140
mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang
memakai obat anti hipertensi.
B. Insiden
Hipertensi.
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering
disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung,
pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun
akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur
(Tambayong, 2000).
C. Penyebab
Hipertensi secara Epidemiologi.
Hipertensi adalah masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung
congestive, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler. Hipertensi disebut “silent
killer” karena sifatnya asimptomatik dan setelah beberapa tahun dapat menimbulkan
stroke yang fatal atau penyakit jantung. Meskipun tidak dapat diobati,
pencegahan dan penatalaksanaan dapat menurunkan kejadian hipertensi dan
penyakit yang menyertainya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, diketahui hampir seperempat
(24,5%) penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun mengkonsumsi makanan asin
setiap hari, satu kali atau lebih. Sementara prevalensi hipertensi di Indonesia
mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60%
penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung,
gagal ginjal, dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah
sistolik sebesar 20 mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat
penyakit kardiovaskuler.
D. Patofisiologi Hipertensi.
1.
Hipertensi Essensial, disebut juga
hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak jelas
etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini.
Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi essensial adalah peningkatan resistensi
perifer. Penyebab hipertensi essensial adalah multi faktor, terdiri dari faktor
genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari
adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi
genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stres,
peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi
insulin. Paling sedikit ada tiga faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
hipertensi, yakni makan garam natrium berlebihan, stres psikis dan obesitas.
2.
Hipertensi sekunder.
Prevalensinya
hanya sekitar 5-8 % dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin
(hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain.
Hipertensi
renal dapat berupa :
1)
Hipertensi renovaskular, adalah
hipertensi akibat adanya lesi pada arteri ginjal sehingga menyebabkan
hipoperfusi ginjal.
2)
Hipertensi akibat lesi pada parenkim
ginjal menimbulkan gangguan fungsi ginjal. Hipertensi
endokrin terjadi misalnya akibat kelainan korteks adrenal, tumor di medulla
adrenal, akromegali, hiperparatiroidisme,
hipotiroidisme, hipertiroidisme, dan
lain-lain.
3.
Defisiensi zat-zat vasodilator yang
disintesis oleh endotelium vaskuler seperti prostasiklin, brandikinin, nitrogen
oksid (NO), dan peningkatan produksi zat-zat vasokontriktor seperti angiotensi
II dan endotelin I.
E. Diagnosis dan Gejala
Klinis Hipertensi.
Menurut Sylvia
Anderson (2005), gejala hipertensi sebagai berikut :
a. Sakit
kepala bagian belakang dan kaku kuduk.
b. Sulit
tidur, gelisah, cemas dan kepala pusing.
c. Dada
berdebar-debar.
d. Lemas,
sesak nafas, berkeringat.
Gejala
hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan
pusing (Mansjoer,2001).
Diagnosis
hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran tekanan darah, tetapi
dapat ditegakkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang
berbeda, kecuali terjadi peningkatan tekanan darah yang tinggi atau
gejala-gejala klinis pendukung pada pemeriksaan yang pertama kali.
F. Faktor-faktor Resiko
Hipertensi.
Faktor
pemicu hipertensi dibedakan atas:
a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol.
1)
Umur.
Hipertensi erat kaitannya dengan
umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih
dari 40 tahun mempunyai resiko terkena hipertensi.
Dengan bertambahnya umur, resiko
terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia
lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50% diatas umur
60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah
seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur
lima puluhan dan enam puluhan.
2)
Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara
wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri
di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk
wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan
daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7%
wanita.
Ahli lain mengatakan pria lebih
banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg
untuk peningkatan darah sistolik. Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria
dan wanita menapause mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi.
Menurut MN. Bustan bahwa wanita lebih banyak yang menderita hipertensi
dibanding pria, hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
3)
Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang
dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi.
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang
memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5
kali lipat.
Dari data statistik terbukti bahwa
seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi
jika orang tuanya menderita hipertensi. Menurut Sheps, hipertensi cenderung
merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai
hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya
pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita
mendapatkan penyakit tersebut 60%.
4)
Genetik
Peran faktor genetik terhadap
timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih
banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel
telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama
lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar
30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.
b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol.
1)
Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan
hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler
telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar
tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu
pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang
tidak merokok.
Nikotin dalam tembakau merupakan
penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti
zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh
darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa
detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan
memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk
bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua
batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg.
Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti
mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah
juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan
berada pada level tinggi sepanjang hari.
2)
Konsumsi Asin/Garam.
Secara umum masyarakat sering
menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang
sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam
terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan
tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan
garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang
normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor
lain yang berpengaruh.
Reaksi orang terhadap natrium
berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang mempunyai hipertensi,
walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan
darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium
menyebabkan kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.
Garam merupakan faktor yang sangat
penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan
pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3
gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika
asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi
15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.
Garam menyebabkan penumpukan cairan
dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3
gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan
garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam
yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium
atau 2400 mg/hari.
3)
Konsumsi Lemak Jenuh.
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat
kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.
Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan
dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak
dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain
yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
4)
Penggunaan Jelantah.
Jelantah adalah minyak goreng yang
sudah lebih dari satu kali dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan
minyak yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti
kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam, secara kimia
isi kandungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni terdiri dari beraneka
asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil
terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut
lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan berbeda adalah
komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang didominasi oleh
lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat sering juga disebut
omega-9. Minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun
dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya adalah ALTJ.
Penggunaan minyak goreng sebagai
media penggorengan bisa menjadi rusak karena minyak goreng tidak tahan terhadap
panas. Minyak goreng yang tinggi kandungan ALTJ-nya pun memiliki nilai tambah
hanya pada gorengan pertama saja, selebihnya minyak tersebut menjadi rusak.
Bahan makanan kaya omega-3 yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol
darah, akan tidak berkasiat bila dipanaskan dan diberi kesempatan untuk dingin
kemudian dipakai untuk menggoreng kembali, karena komposisi ikatan rangkapnya
telah rusak.
5)
Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol.
Alkohol juga dihubungkan dengan
hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya
hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang minum alkohol terlalu
sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada
individu yang tidak minum atau minum sedikit.
Menurut
Ali Khomsan, konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa
10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan
tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan
dalam menaikkan tekanan darah.
6)
Obesitas.
Obesitas
atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25 (berat
badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m) juga merupakan salah satu faktor risiko
terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita
hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang
obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada
obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf
simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
7) Olahraga.
Olahraga
banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan
olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam
juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi.
Kurangnya
aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan
risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi
denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa,
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
8) Stres.
Hubungan
antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan
dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum
terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan tehadap
stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi.
9).
Penyakit lain penyebab hipertensi, yaitu :
a) Kolesterol
tinggi.
b) Diabetes.
c) Gagal
jantung.
d) Hiperlipidemia.
G. Klasifikasi
Hipertensi.
Menurut WHO, klasifikasi hipertensi dibagi
menjadi :
Klasifikasi
|
Sistolik
(mmHg)
|
Diastolik
(mmHg)
|
Normotensi
|
< 140
|
< 90
|
Hipertensi ringan
|
140-180
|
90-105
|
Hipertensi perbatasan
|
140-160
|
90-95
|
Hipertensi
sedang-berat
|
>180
|
>105
|
Hipertensi sistolik terisolasi
|
>140
|
<90
|
Hipertensi sistolik
perbatasan
|
140-160
|
<90
|
H. Pemeriksaan
Penunjang Hipertensi.
Pemeriksaan
laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menentukan
adanya kerusakan organ resiko lain atau mencari penyebab hipertensi sebagai
tambahan dapat dilakukan pemeriksaan lain seperti kreatinin, protein urin 24
jam, asam urat, kolesterol/LDL, TSH, EKG, dan CT-Scan, foto rontgen, dan
glukosa.
Pemeriksaan
kadar ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai fungsi ginjal.
Kadar kreatinin serum lebih berarti dibandingkan dengan ureum sebagai indikator
laju glomerolus (glomerolar filtration rate) yang menunjukkan derajat
fungsi ginjal. Pemeriksaan yang lebih tepat adalah pemeriksaan klirens atau
yang lebih popular disebut Creatinin Clearance Test (CTC).
Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
Menurut
Slamet Suyono, pemeriksaan urinalisa diperlukan karena selain dapat membantu
menegakkan diagnosis penyakit ginjal, juga karena proteinuria ditemukan pada
hampir separuh pasien. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada urin segar.
I.
HIPERTENSI
DALAM KEHAMILAN.
Hipertensi
yang menimpa ibu hamil akan sangat membahayakan baik bagi kehamilan itu sendiri
maupun bagi ibu. Hipertensi pada kehamilan banyak terjadi pada usia ibu hamil
di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan dengan bayi kembar, atau terjadi
pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
1. Perubahan
Fisiologis Sistem Kardiovaskuler Dalam Kehamilan.
Sistem
kardiovaskuler selama kehamilan harus memenuhi kebutuhan yang meningkat antara
ibu dan janin. Peningkatan curah jantung selama kehamilan berkisar 40% pada
trimester pertama dan kedua (Murray dalam Wylie). Peningkatan curah jantung
memungkinkan darah mengalir malalui sirkulasi tambahan yang terbentuk di uterus
yang membesar dan dinding plasenta dan memenuhi kebutuhan tambahan pada organ
lainnya di tubuh ibu.
Jumlah
dan panjang pembuluh darah yang dialirkan ke plasenta meningkat sehingga
terjadi vasodilatasi sebagai akibat aktivitas hormon progesteron pada otot
polos dinding pembuluh darah. Selama kehamilan terjadi peningkatan volume
plasma darah hingga 50% dan jumlah sel darah meningkat hingga 18% untuk
mengompensasi penurunan volume darah akibat pembentukan darah ekstra dan
vasodilatasi (Blackburn dalam Wylie). Peningkatan volume plasma yang diimbangi
dengan jumlah sel darah dan protein dalam darah yang bersikulasi dapat menyebabkan
penurunan cairan pada kompartemen cairan interstisial dinding kapiler, sehingga
mengakibatkan edema pada wanita hamil.
2. Penyebab
Hipertensi Dalam Kehamilan.
Penyebab hipertensi pada sebagian
besar kasus, tidak diketahui sehingga disebut hipertensi esensial. Namun
demikian, pada sebagian kecil kasus hipertensi merupakan akibat sekunder proses
penyakit lainnya, seperti ginjal; defek adrenal; komplikasi terapi obat.
Penyebab
hipertensi dalam kehamilan adalah:
a. Hipertensi
esensial.
Hipertensi esensial adalah penyakit
hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter, faktor emosi dan lingkungan.
Wanita hamil dengan hipertensi esensial memiliki tekanan darah sekitar 140/90
mmHg sampai 160/100 mmHg. Gejala-gejala lain seperti kelainan jantung,
arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal akan timbul setelah
dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut. Hipertensi esensial dalam
kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm. Sekitar 20% dari
wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah, dapat disertai
proteinuria dan edema.
b. Penyakit
Ginjal.
Penyakit
ginjal dengan hipertensi dapat dijumpai pada wanita hamil dengan
glomerulonefritis akut dan kronik; pielonefritis akut dan kronik. Frekuensi
kejadian sekitar 1% secara klinis dan secara patologi-anatomi kira-kira 15%.
Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara: pemeriksaan urin lengkap dan faal
ginjal; pemeriksaan retina; pemeriksaan umum; pemeriksaan kuantitatif albumin
air kencing dan pemeriksaaan darah lengkap. Nasehat yang dapat diberikan ke
pasien adalah: pemerilksaan antenatal yang teratur, pengawasan pertumbuhan
janin dan kesehatan ibu.
3. Klasifikasi
Hipertensi Dalam Kehamilan.
Klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi
esensial kronis.
b. Hipertensi
esensial disertai superimposed pregnancy-induced hypertension.
c. Hipertensi
diinduksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension, PIH).
d. Pre-eklamsia.
e. Eklamsia.
Hipertensi
esensial
Hipertensi
pre-existing dikenal dengan hipertensi esensial kronis. Faktor
resiko hipertensi esensial dalam kehamilan adalah wanita hamil multipara dengan
usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam
kehamilan dan dalam persalinan. Penanganan dalam kehamilan meliputi:
pemeriksaan antenatal yang teratur; cukup istirahat; monitor penambahan berat
badan; dan melakukan pengawasan ibu dan janin; pemberian obat (anti hipertensi
dan penenang); terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi
ganas.
Penanganan
dalam persalinan meliputi: pengawasan pada setiap kala persalinan; secsio
sesarea dilakukan pada wanita primitua dengan anak hidup. Prognosis untuk ibu
dan janin kurang baik.
Hipertensi
esensial disertai superimposed pregnancy-induced hypertension.
Superimposed
pregnancy-induced hypertension dapat terjadi selama kehamilan. Komplikasi dari
hipertensi esensial diindikasikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk mengompensasi
patologi penyebab hipertensi yang menghambat darah menyuplai gas dan nutrien ke
jaringan dan organ tubuh. Komplikasi lain yang mungkin timbul antara lain:
gagal ginjal; serangan vaskuler serebral (stroke); ensefalopati. Prognosis
kondisi tersebut cenderung buruk.
Pregnancy-induced
hypertension, PIH.
Hipertensi
diinduksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension, PIH) atau pre-eklamsia
adalah peningkatan tekanan darah setelah minggu ke-20 kehamilan. Penyebab PIH
belum diketahui, akan tetapi telah dihubungkan dengan kasus pembesaran
plasenta. Karena tekanan darah meningkat tanpa proteinuria, maka dapat menjadi
indikasi bahwa tubuh tidak mampu mengompensasi patologi sirkulasi yang
berhubungan dengan hipertensi esensial dengan vaskularisasi tambahan ke
plasenta dan janin. Diagnosisnya apabila tekanan darah diastolik > 110 mmHg
pada setiap pemeriksaan atau 90 mmHg pada dua kali atau lebih pemeriksaan, atau
selang 4 jam. Penatalaksanaannya diperlukan pengawasan yang cermat terhadap
kondisi ibu dan janin. Pemeriksaan bagi ibu antara lain: pemeriksaan fisik
lengkap; USG; laboratorium darah dan urin. Sedangkan bagi janin adalah pemeriksaan
abdomen; USG; kardiotokografi.
Pre-eklamsia.
Pre-eklamsia
juga dikenal sebagai hipertensi gestasional proteinurik, toksemia pre-eklamtik
(TPE). Pre-eklamsia merupakan gangguan multisistem yang bersifat spesifik
terhadap kehamilan dan masa nifas. Lebih tepatnya, penyakit ini merupakan
penyakit plasenta.
Angka
kejadian pre-eklamsia sekitar 6-8% dari semua kehamilan. Penyebab pre-eklamsia
belum diketahui secara pasti. Pre-eklamsia ditandai dengan gejala tekanan darah
> 140/90 mmHg, proteinuria dan edema pada wajah maupun tangan.
Pre-eklamsia
terbagi menjadi pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat. Komplikasi
pre-eklamsia jangka pendek antara lain: gagal ginjal; eklamsia; stoke; kematian
ibu; HELLP; DIC; dan masih banyak lainnya. Penanganan pre-eklamsia sesuai
dengan klasifikasinya.
Eklamsia.
Eklamsia
didefinisikan sebagai satu atau lebih kejang menyeluruh atau koma dalam kondisi
pre-eklamsia tanpa ada kondisi neurolig lain. Eklamsia dianggap sebagai tahap
akhir pre-eklamsia. Eklamsia dapat terjadi selama periode pranatal, intranatal,
dan pascanatal. Yang paling beresiko adalah periode pascanatal. Komplikasi
terjadinya eklamsia adalah kematian; perdarahan serebral; edema paru; ARDS;
gagal ginjal. Ibu dengan pre-eklamsia berat beresiko mengalami kejang berulang,
sehingga pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan pemberian Magnesium
Sulfat secara intravena.
J.
Komplikasi
Hipertensi.
1. Stroke.
Stroke dapat timbul
akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas
dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis
dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin,
2000).Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti,
orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu
bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau
lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan
diri secara mendadak (Santoso, 2006).
2. Infark
Miokard.
Infark miokard dapat
terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup
oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran
darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan
dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi
ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan
peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000).
3. Gagal
ginjal.
Gagal ginjal dapat
terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler
ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit
fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia
dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui
urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang
sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000).
4. Gagal
jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya
kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan
jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru – paru menyebabkan
sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering
dikatakan edema (Amir, 2002).
5. Ensefalopati.
Enselofati dapat
terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang
tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong
cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron
disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
6. Diabetes
Melitus.
Semua pasien DM dan
hipertensi harus diterapi dengan menggunakan ACE-inhibitor atau ARB. Kedua
golongan obat tersebut bersifat nephroprotection
dan menurunkan resiko pada kardiovaskuler.
K.
Terapi
Hipertensi.
1. Non
Farmakologi.
a. Mengidentifikasi
dan mengurangi faktor resiko seperti :
·
Merokok.
·
Dislipidemia.
·
Diabetes melitus.
·
Laki-laki berusia lebih
dari 60 tahun dan wanita post menopause.
·
Riwayat keluarga
menderita hipertensi.
·
Obesitas (Body mass
index/BMI ≥ 30 kg/m2) dan penyakit jantung.
·
Aktivitas fisik yang
kurang.
b. Modifikasi
gaya hidup.
·
Menurunkan berat badan
bila kelebihan (BMI ≥ 27 kg/m2).
·
Membatasi konsumsi
alkohol.
·
Meningkatkan aktivitas
fisik aerobik (30-45 menit/hari).
·
Mengurangi asupan garam
(2,4gr Na atau 6gr NaCl/hari).
·
Mempertahankan asupan
kalium yang adequate.
·
Berhenti merokok dan
mengurangi asupan lemak atau kolesterol dalam makanan.
2. Terapi
Farmakologi.
Pemilihan obat harus berdasarkan pada
efektivitasnya dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas, keamanan, biaya,
penyakit yang menyertainya, dan faktor resiko yang lain.
a) Diuretik.
Diuretik thiazid
biasanya obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik
membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan
diseluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik menyebabkan
hilangnya kalium melalui air, sehingga pengontrolan konsumsi potasium harus
dilakukan. Contoh : furosemid, HCT.
b) Penghambat
adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari α1-bloker, β
bloker, α-β bloker labetalol yang menghambat efek sistem syaraf simpatis yang
merupakan sistem syaraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap
stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah. Contoh : Atenolol, captopril.
c) ACE-inhibitor.
Mekanismenya menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, menyebabkan penurunan tekanan
darah dengan cara melebarkan arteri. Contoh : Amlodipin.
d) Angiotensin
II bloker (ARB).
Menyebabkan penuurunan
tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE inhibitor.
e) Antagonis
kalsium.
Menyebabkan melebarnya
pembuluh darah melalui relaksasi otot jantung dan otot polos pembuluh darah
dengan cara menghambat kanal Ca+2. Contoh : nifedipin, verapamil.
f) Vasodilator
langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat dari golongan ini hampir
selalu digunakan sebagai tambahan terhadap obat antihipertensi lainnya. Contoh
: Hidralazin, minoksidil.
g) Agonis
α2- reseptor.
Menurunkan tekanan
darah dengan mengurangi aktivitas simpatik, seperti mengurangi kecepatan denyut
jantung, resistensi perifer.
Contoh : Klonidin,
metildopa.
h) Kedaruratan
hipertensi (misalnya hipertensi maligna), memerlukan obat yang dapat menurunkan
tekanan darah tinggi dengan segera. Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah
dengan cepat dan sebagian besar diberikan secara intravena :
·
Diazoxide.
·
Nitroprusside.
·
Nitro glyceerin.
·
Labetalol.
L.
Evaluasi
Terapi Hipertensi.
1. Memelihara
tekanan darah tetap < 140/90 mmHg, < 130/80 mmHg pada pasien dengan
komplikasi DM dan gagal ginjal.
2. Mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
3. Mengontrol
faktor resiko.
4. Pasien
terbebas dari efek samping obat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1. Hipertensi
yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih
atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti
hipertensi.
2. Gejala
hipertensi yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan
pusing.
3. Faktor
resiko hipertensi terdiri dari faktor resiko yang tidak dapat diubah (umur,
jenis kelamin, genetik) dan faktor resiko yang dapat diubah seperti : stres,
konsumsi alkohol, merokok, konsumsi garam berlebih, obesitas.
4. Hipertensi
pada kehamilan banyak terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di
atas 40, kehamilan dengan bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan
kehamilan pertama.
5. Terapi
hipertensi terdiri dari terapi non farmakologi (mengurangi faktor resiko serta
modifikasi gaya hidup) dan terapi farmakologi (menggunakan obat-obatan).
B.
Saran.
Lakukan evaluasi
terhadap terapi hipertensi dengan memelihara tekanan darah dan mengontrol
faktor resiko hipertensi sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2004.Farmakologi
dan Terapi edisi 4 .Jakarta:Gaya Baru.Hlm:327-342.
http://www.lusa.web.id/hipertensi-dalam-kehamilan/
diakses tgl 15-12-12 jam 22.00
Wylie, Linda, 2010.
Manajemen Kebidanan: Gangguan Medis Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC.
Hlm:13-41.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17124/4/Chapter%20II.pdf
diakses tgl 15-12-12 jam 09.20
www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/206312017/bab2.pdf
diakses tgl 16-12-12 jam 15.00