Sunday 17 February 2013

MUHAMMADIYAH DAN NU

REORIENTASI WAWASAN KEISLAMAN
Diantara gerakan islam yang lahir dari rahim abad ke-20, Muhammadiyah dan NU patut dicatat sebagai gerakan yang tetap tegar dan tahan bantingan sejarah, sekalipun goncangan intern dalam tubuhnya yang dirasakan sebagai penganngu, Muhammadiyah dan NU secara umum masih memiliki rasa percaya tinggi yang kuat, mereka dapat bertahan dengan caranya masing – masing. Sekarang kedua organisasi ini sedang diharapkan kepada tantangan yang cukup berat menjelang era industrialisasi, tetapi bila pandangan kita tujukan kepada persoalan yang lebih substansi, maka pertanyaan berikut ini perlu dijawab oleh kedua gerakan tersebut, salah satunya dalam perkembangan yang sekarang ini apakah mereka masih percaya bahwa manusia masa depan masih punya peluang untuk beriman?

Menurut pandangan saya corak jawaban yang akan mereka berikan mau tidak mau akan membawa kita kepada persoalan yang krusial, perlunya reorientasi wawasan keislaman dengan tujuan untuk menjadikan islam sebagai kekuatan yang bermakna dalam budaya bangsa, peran islam harus sebanding dan setanding dengan sosiologi yang dimilikinya,.

PERAN POLITIK MUHAMMADIYAH
1. Muhammadiyah vs Latahism
Muhammadiyah secara keseluruhan belum terlibat dalam budaya seperti itu, setidaknya pada masa orde baru Muhammadiyah masih mampu menahan diri untuk tidak ikut dan terbawa dalam arus latah, mungkin sekarang tidak sedikit terjebak dalam budaya seperti ini hanya untuk bias bertahan. Pengalaman yang membuat Muhammadiyah untuk tidak mengulang sikap latah pada masa berikutnya, sikap seperti ini yang perlu ditularkan agar menjadi milik seluruh bangsa kita. Kearifan dan kebijakan akan sulit kita budayakan bila latahisme tidak kita kikis habis dalam kehidupan berbangsa kita, Muhammadiyah harusnya menjadi pionir dalam mengembangkan akal sehat dalam proses pengembangan dan pembangunan bangsa ini dan sekaligus memberikan contoh untuk tidak mengkaitkan diri dengan wabah kelatahan.

2. Independensi Muhammadiyah
Sepanjang sejarahnya Muhammadiyah belum pernah mengalami prahara politik interenal yang membawa perpecahan dalam tubuhnya, faktor utama yang membuat seperti ini adalah sikap yang independen dan ekstra hati – hati dalam menghadapi dan berurusan dengan berbagai masalah yang ada,. Belajar dari pengalaman sejarah dalam berkecimpung dalam dunia politik praktis yang penuh dengan sengketa, Muhammadiyah dalam Muktamar Ujung Pandang tahun 1971 memutuskan untuk talak tiga, dengan segala bentuk politik praktis, tetapi para anggotanya diberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya selama tidak merugikan Islam dan Muhammadiyah..

Muhammadiyah merumuskan sikap seperti ini karena mereka tidak mau berebut rezeki diantara politik praktis, serta tidak mau amal usahanya yang telah menjadi asset bangsa menjadi rusak oleh berbagai virus politik yang telah lepas dari kendali moral. Independensi politik telah membawa perserikatan kepada posisi seperti sekarang aman dan berwibawa, maka independensi muhammadiyah wajib dipertahankan hingga pengaruh dari manan pun dapat dilumpuhkan dan dapat dihindari.

3. Muhammadiyah dan High Politics
Apapun atribut yang diberikan orang kepada Muhammadiyah baik oleh kalangan orang dalam maupun luar, sejak awal kemunculannya Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, bila selintas Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan, hal itu terutama oleh tekanan perjuangan Ahmad Dahlan, keterikatan dalam organisasi dalam Budi Utomo maupun Serikat Islam didasari oleh untuk memperkenalkan Islam modern kepada para tokohnya, terutama Budi Utomo yang secara corak Jawa tetapi menyerap ide dari barat secara intelektual.

Sosok Ahmad Dahlan telah mewarnai perjalanan politik Muhammadiyah secara nasional untuk waktu yang cukup lama, sikap high politics merupakan sebuah pemberontakan spiritual yang berani dalam situasi yang penuh bahaya, keputusan seperti ini berpengaruh besar dalam masyarakat.

Pada sebuah kongres di Yogyakarta November 1945 terbentuklah partai baru yang bernama Masyumi, dari sudut pandang Muhammadiyah, Masyumi merupakan penyalur aspirasi politiknya. Bila kita ikuti perjalanan Masyumi, mereka tidak memisahkan antara high and low politics, artinya politik praktis sebagai low, dan selalu mengacu pada prinsip moral agung yang merupakan substansi dari high politics.

Menurut saya high politics adalah politik yang senantiasa berorientasi kepada tujuan moral, sekali dapat berakibat rugi dari sisi kedudukan, mungkin karena alasan inilah betah dalam Masyumi. Muhammadiyah telah belajar banyak diantaranya adalah lebih besar mudaratnya ketimbang manfaatnya apabila berada dalam posisi mendua, tetapi sebagai organisasi yang tunduk kepada konstitusi agama, Muhammadiyah ingin melihat perubahan budaya politik itu juga melalui konstitusi bukan melalui yang lain,
Setelah tidak lagi memiliki tangan politik, Muhammadiyah masih melihat peluang untuk melaksanakan prioritas itu, antara lain melakukan lobi dengan pemerintah, melalui lobi ini Muhammadiyah menyampaikan pandangan terhadap persoalan bangsa dan negara yang sedang terjadi.. Akhirnya dapat dikatakan politik semacam itu diperlukan sumber daya umat yang kompeten serta cakap, ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh Muhammadiyah.

4. Muhammadiyah jangan alergi politik
Sering dengan tercapainya perjuangan reformasi tahap pertama, kini masyarakat ramai – ramai ingin mendirikan partai politik, sampai saat ini ada kurang lebih 48 partai politik, kita sudah lama hidup dalam suasana pasungan politik dan sekarang kran politik sudah terbuka lebar, sehingga pada ramai – ramai mendirikan partai politik.
Warga Muhammadiyah harus menghilangkan rasa takut untuk mengungkapkan kebenaran dan jangan alergi politik, walaupun tidak mau terlibat langsung, dengan mempelajari dan mendiskusikanya, jangan sampai ada yang kehilangan keseimbangan beroikir tentang politik, apalagi dengan keadaan seperti ini.

Politik Muhammadiyah adalah politik yang dilandasi oleh akhlak mulia dan moral yang tinggi, politik yang dilandasi seperti itu adalah bagian dari dakwah Muhammadiyah, tujuanya adalah untuk menyelamatkan kepentingan bangsa dan kepentingan orang banyak. Tentang pendirian partai Muhammadiyah tetap harus merujuk kepada muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang, yakni Muhammadiyah secara organisasi maupun instutisional tidak melibatkan diri dalam pemilu dan menjaga jarak yang sama dengan partai politik yang lainnya.

Mengenai pancasila sebagai dasar Negara, pancasila itu sebenarnya baik, semua sila – silanya baik, semakin banyak pancasila ditulis dan dijelaskan juga semakin baik, hanya saja antara ucapan dan perbuatan berbeda, nilai moral agama dalam berbagai undang – undang, kata – kata iman dan takwa, sering dipermainkan karenanya perbuatan dan tindakan kita mengkhianati pancasila. Dalam bernegara Muhammadiyah harus menegakkan Islam yang lurus dan benar, yang dapat menghidupkan ruh, dasar Negara Islam tidak ada jaminan bagi suatu bangsa, yang penting bagaimana mengisi bangsa itu bukan mengganti dasar negaranya.

5. Muhammadiyah dan Pemilu
Sejak didirikan pada tahun 1918 Muhammadiyah tidak dirancang untuk menjadi partai politik, sekalipun pada tahun 1960-an karena desakan situasi berfungsi sebagai ormas yang berfungsi menjalankan politik praktis, tapi pengalaman menunjukan bahwa bila Muhammadiyah mengubah dirinya menjadi gerakan politik praktis.
Tarikan politik dari kiri dan kanan tidak boleh menyebabkan kita menjadi silau lalu sampai hati mengobarkan Muhammadiyah, orang luar yang berpikir jernih sering berpesan agar kita menjaga Muhammadiyah dengan sikap yang tulus, bukan Muhammadiyah satu – satunya yang menjaga Islam, penjaga tertingginya adalah Allah dan seluruh kaum muslimin.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment